Kelas campur itu ibarat miniatur kehidupan: ada yang cepat nangkap, ada yang butuh jeda 10 detik, ada yang bawa cemilan, dan ada yang bawa dunia sendiri. Dulu aku pikir mengajar ya cukup siapin modul, datang, lalu beri nilai. Ternyata salah besar. Mengajar di kelas yang inklusif — di mana anak berkebutuhan khusus duduk bersebelahan dengan teman-teman lain — mengubah cara aku memandang proses belajar mengajar. Bukan cuma soal metode, tapi soal kemanusiaan, kesabaran, dan humor awkward yang sering menyelamatkan suasana.
Bukan cuma soal kursus tambahan, bro
Aku pernah bingung: gimana caranya materi sama bisa dinikmati semua anak? Jawabannya sederhana tapi butuh kerja: fleksibilitas. Ada yang butuh penjelasan visual, ada yang butuh gerakan, ada yang butuh pengulangan berkali-kali (dan itu oke banget). Aku mulai memecah pelajaran menjadi potongan kecil, pakai gambar, peta pikiran, atau aktivitas kinestetik supaya yang butuh bergerak tetap fokus. Kadang aku merasa kayak sutradara teater low-budget: improvisasi terus.
Sabar itu seni (dan kadang komedi)
Di sini aku belajar bahwa sabar bukan sekadar menunggu. Sabar itu aktif: menyiapkan rencana B, C, bahkan D. Pernah suatu ketika seorang anak membutuhkan waktu lebih lama untuk menjawab pertanyaan. Di kelas lama aku mungkin sudah nyalakan timer mental: “Waktumu habis.” Tapi di kelas inklusif, aku belajar memberi ruang. Teman-temannya? Mereka sering kali jadi pendukung paling solid, memberi tepuk kecil, atau menunjukkan gambar sebagai petunjuk. Momen-momen itu bikin aku mesem sendiri karena ada kebersamaan yang tulus, bukan pura-pura.
Strategi sederhana yang ternyata efektif
Katakanlah aku bukan ahli teori pendidikan, cuma guru yang suka bereksperimen. Beberapa trik sederhana yang bekerja: gunakan instruksi singkat, ulangi poin penting, dan bagi tugas menjadi langkah-langkah kecil. Oh iya, labeling visual di kelas itu lifesaver — nama benda, langkah-langkah tugas, sampai jadwal harian. Selain itu, jadikan teman sekelas sebagai mentor kecil. Bukan berarti membebani, tapi memberi kesempatan bagi anak yang lebih mudah memahami untuk membantu teman lain. Banyak hubungan persahabatan kecil lahir dari momen-momen bantu-membantu itu.
Setengah jalan mengajar aku juga mulai rajin cari referensi dan komunitas pendukung. Salah satu sumber yang sering kubuka adalah organisasi dan artikel yang membahas praktik inklusi. Kalau kamu penasaran atau butuh bahan bacaan, coba intip deseducation — banyak insight yang berguna dan nggak bikin pusing kepala.
Ketika keberagaman jadi bahan ajar
Serius, keberagaman di kelas itu sumber materi yang gak ada habisnya. Anak-anak belajar toleransi bukan dari ceramah panjang, tapi dari interaksi sehari-hari: menunggu giliran, berbagi alat tulis, memaklumi ritme belajar teman. Aku suka melihat ketika satu anak menunggu temannya yang sedikit lambat menyelesaikan tugas, terus bilang, “Santai aja, kita tunggu.” Kalau itu bukan pelajaran kehidupan, aku nggak tahu deh apa lagi.
Gaul itu penting juga, jangan kaku
Salah satu jurus andalanku adalah bahasa yang rileks. Aku nggak harus selalu formal. Kadang bilang, “Ayo kita semangat, jangan ngantuk ya!” atau pakai analogi-analogi kocak yang bikin suasana cair. Humor kecil membantu mencairkan ketegangan, terutama saat ada anak yang frustasi. Tapi tentu saja, selalu dengan rasa hormat. Menertawakan situasi, bukan orang.
Sekilas kata penutup (yang agak sentimental)
Yang paling membuatku terharu bukan sekadar kemajuan akademis, tapi perkembangan empati di antara murid. Mereka belajar menghargai perbedaan tanpa harus diajari berat-berat. Mengajar di kelas campur mengajarkan aku bahwa pendidikan untuk semua bukan slogan kosong — tapi praktik harian yang penuh tantangan sekaligus keindahan. Kadang capek? Banget. Tapi tiap kali ada anak yang merasa berhasil, senyumnya itu loh, bikin semua usaha sepadan. Kalau kamu punya kesempatan mengajar atau mendukung pendidikan inklusif, coba deh: bukan hanya anak yang belajar, kita juga dapat pelajaran hidup.